Sabtu, 02 Mei 2009

Revitalisasi Pertanian di Tanah Simalungun

PENDAHULUAN
Dahulu Simalungun sebagian besar hidup secara agraris (pertanian). Gotong royong adalah merupakan pola hidup musyawarah mufakat mencakup seluruh warga desa mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Anak-anak, muda-mudi, sangat hormat pada orang tua tanpa pandang bulu, mereka taat melaksanakan hasil musyawarah desa. Semua penduduk desa hormat kepada yang lebih tua juga kepada puang (aparat desa).Gotong royong meliputi : menanam dan menuai padi, mengambil kayu bahan losung (tempat menumbuk padi/dan mendirikannya). Membuka jalan, membuat saluran air dan pancuran, dll. Sebagai desa agraris mereka melaksanakan gotong royong dalam mengolah tanah dengan pola “marsialop ari (marharoan)”. Tanah Simalungun jika dilihat dari sisi agroklimat serta topograpi lahan merupakan lahan yang sangat subur sebagai areal pertanian. Hal ini bisa dilihat dari potensial wilayah di hampir seluruh kecamatan yang ada di Simalungun. Pada era tahun 1970 – 1990 an yang telah lalu kita bisa melihat Kecamatan Silimakuta dengan potensi hortikulturanya antara lain aneka jenis sayuran serta tanaman buah, Kecamatan Sidamanik dengan tanaman pangan antara lain padi dan jagungnya serta potensi-potensi lainnya di kecamatan-kecamatan lainnya. Bahkan kalau kita melihat lebih jauh kebelakang lagi bagaimana ketertarikan beberapa suku lainnya seperti suku Batak Toba, Suku Jawa yang bermigrasi ke tanah simalungun yang melihat begitu suburnya tanah Simalungun.

ANGAN BERBUAH MALAPETAKA PASCA REVOLUSI HIJAU
Dunia pertanian modern adalah dunia mitos keberhasilan modernitas. Keberhasilan diukur dari berapa banyaknya hasil panen yang dihasilkan. Semakin banyak, semakin dianggap maju. Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat:
Berbagai organisme penyubur tanah musnah;
Kesuburan tanah merosot/tandus;
Tanah mengandung residu (endapan) pestisida;
Hasil pertanian mengandung residu pestisida;
Keseimbangan ekosistem rusak; dan
Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama.
Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus akan mempercepat habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pupuk urea dari tahun ke tahun menurun. Hal ini diakibatkan oleh endapan sisa-sisa pupuk kimia yang tidak teruraikan akan menjadi semacam zat toksik bagi mikroorganisme di dalam tanah serta akan merobah beberapa struktur kimia organik didalam tanah. Dengan berkurangnya mikroorganisme didalam tanah maka secara otomatis akan mengurangi decomposer bahan organik tanah yang sangat membantu dalam memperbaiki kesuburan tanah, misalnya aktivitas cacing tanah. Cacing tanah akan memakan tanah dan menghaluskan bahan organik. Hasil aktivitas ini akan meningkatkan ketersediaan unsur hara antara lain ; Ca, Mg, K dan P. Lorong yang terbentuk akibat kegiatan cacing tanah mampu memperbaiki aerasi dan struktur tanah yang berpengaruh terhadap daya hantar air, infiltrasi dan pertumbuhan perakaran. Beberapa proses oksidasi/reduksi N, Fe, Mn dan S dilaksanakan oleh kegiatan mikroorganisme. Dampak seperti hal tersebut juga sudah sangat begitu terasa di Tanah Simalungun. Beberapa keluhan para petani sudah sangat sering kita dengar, seperti timbulnya penyakit keriting pada tanaman cabe, terjadinya penyakit busuk umbi pada tanaman jahe, ketidakmampuan para petani untuk meningkatkan produksi tanaman padi mereka sekalipun penggunaan pupuk sudah ditingkatkan bahkan dengan memberikan tambahan pupuk pelengkap serta penggunaan berbagai macam merk pestisida maupun insektisida untuk menangkal serangan hama dan penyakit. Memang secara umum kondisi pertanian di Indonesia masih memiliki ketergantungan yang teramat sangat tinggi akan penggunaan pupuk kimia seperti Urea, SP-36, TSP dan yang lainnya tidak terkecuali di Tanah Simalungun. Orientasi kita masih terfokus kepada bagaimana meningkatkan produksi setinggi-tingginya tanpa melihat sudah bagaimanakah kondisi lahan yang kita pergunakan sejak berpuluh-puluh tahun untuk berbudidaya. Beberapa bulan yang lalu penulis pernah berbincang-bincang dengan salah seorang petani yang secara rutin menanam jahe di desa Sinaman Kecamatan Dolok Pardamean, beliau memiliki keluhan bahwa secara umum kondisi di desa itu untuk penanaman jahe akan mengalami kejadian busuk buah/umbi pada saat tanaman berumur 3 bulan.

Berbagai upaya telah dilakukan antara lain pemberian pestisida yang beragam merk nya maupun fungisida, tetapi hasilnya tetap saja tidak membuahkan hasil yang bisa membantu sehingga suatu waktu si petani tadi berpikir bahwa ada sesuatu di tanah areal pertanian tersebut yang menjadi penyebab kehancuran tanaman jahe nya, Secara diam-diam dia mulai melakukan upaya dengan cara areal pertanaman jahenya sebelum ditanami dikeruk kemudian disemprot dengan Herbisida Gramoxone lalu ditimbun dengan timbunan sampah seperti jerami dan daun-daunan lainnya yang diulang sebanyak 3 kali. Beliau mengatakan ternyata usahanya membuahkan hasil. Apakah usaha seperti itu akan memberikan hasil yang maksimal untuk jangka waktu yang lama..? Memang bisa jadi pengaruh Herbisida Gramoxone tersebut dengan toksisitasnya yang sangat tinggi akan berpengaruh terhadap bakteri maupun jamur yang terdapat di areal tersebut, satu hal yang seharusnya dipikirkan apakah focus permasalahan hanya sebatas rusaknya pertanaman jahe hanya diakibatkan serangan penyakit dari dalam tanah saja, tanpa melihat sudah seberapa minimnya kandungan bahan organik serta unsur-unsur mikro maupun mikroorganisme tanah yang terbunuh akibat penggunaan pupuk kimia serta pestisida tadi.?
Salah satu kasus nyata yang telah terjadi di Simalungun adalah pertanian tanaman bawang di seluruh pesisir Danau Toba tidak dapat tumbuh lagi dengan baik. Umur bawang hanya bertahan satu bulan dan kemudian membusuk. Disebutkan, tanaman bawang sebagai tanaman pertanian andalan sejak puluhan tahun lalu di pesisir Danau Toba, kini punah dan tidak dapat tumbuh. Para petani disejumlah desa seperti Desa Hutaimbaru, Nagori Purba, Gaol, Sihalpe, Binangara, Nagori, Soping, Baluhut, Sibolangit, Tongging, Haranggaol, Sigunggung, Purba Saribu, enggan untuk menanam bawang. Walaupun demikian kondisi yang terjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Simalungun belum ada kepada ratusan petani bawang disejumlah desa itu. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, para petani bawang di sejumlah desa itu beralih bertanam tomat, jagung dan padi. Tanaman tomat, padi, jagung tampak menghijau diladang petani. Seperti Desa Hutaimbaru, Nagori Purba, dan sejumlah desa dipesisir Danau Toba. Menurut para petani, beralih ke tanaman tomat merupakan alternatif. Hal itu dilakukan akibat tidak ada lagi tanaman yang mau ditanam untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Mereka mengaku harus mengeluarkan modal besar untuk bertanam tomat. Sementara harga tomat sering jatuh dipasaran akibat ulah tengkulak. Harga tomat kepada agen di pasar Haranggaol dan Tongging berkisar Rp 3 ribu hingga Rp 4 ribu. Harga tersebut sudah menurun jika dibandingkan pada awal musim panen awal Januari lalu mencapai Rp 5 ribu hingga Rp 7 ribu.Dari fenomena diatas sebenarnya apa yang menjadi fokus permasalahan bagi petani bawang tersebut, kalau dilihat dari sisi kekurangmampuan membeli sarana produksi pertanian yang jelas bukan, persoalannya mereka sanggup beralih ke tanaman tomat sekalipun dengan modal yang sangat besar. Kondisi seperti ini sebenarnya bukan hanya terjadi di daerah Haranggaol sekitarnya. Yayasan PEDATI Kabupaten Toba Samosir saat ini sedang berupaya membantu para petani di daerah tersebut yang juga sudah enggan untuk bertanam bawang akibat hal yang serupa seperti yang dialami oleh petani Haranggaol. Upaya yang mereka lakukan saat ini adalah dengan mencoba mereklamasi lahan dari efek kontaminasi penggunaan pupuk kimia yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya dengan penggunaan pupuk organik maupun pupuk hayati seperti pupuk kandang, kompos maupun jenis pupuk organik lainnya, dan upaya tersebut sepertinya sudah mulai menunjukkan hasil dibeberapa daerah yang pertumbuhan bawangnya sudah mulai membaik sekalipun belum menghasilkan bobot umbi yang memuaskan Berbicara masalah dampak penggunaan pupuk kimia buatan serta pestisida ternyata tidak hanya sebatas rusaknya lingkungan serta menurunnya produktivitas hasil tani secara umum, tetapi kita juga harus melihat pengaruhnya terhadap konsumennya, pernahkah kita menyadari kalau beras yang kita tanak, sayur yang kita tumis atau tomat yang kita jadikan sambal ternyata sudah memiliki kandungan residu zat-zat kimia yang berakibat fatal bagi kesehatan kita.
Air susu sama saja air tuba! Itulah kesimpulan yang didapat jika mengetahui hasil penelitian WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia) tentang metabolisme, yang ternyata menunjukkan bahwa air susu ibu (ASI) di Pulau Jawa ada yang telah tercemar pestisida. Padahal ASI dikampanyekan sebagai susu terbaik bagi bayi. Secara tidak langsung, proses ancaman kehidupan berlangsung lewat kasih sayang para ibu. Lalu, apa yang dirasakan seorang suami yang melihat istrinya sedang menyusui anaknya dengan air susu yang tercemar? Pestisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker. Jika ibu hamil mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung residu pestisida, maka janin yang dikandungnya mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat.Kondisi seperti diatas barangkali untuk saat ini belum terlalu berpengaruh bagi kehidupan kita di Tanah Simalungun sana, tetapi lambat laun dan secara pasti jika kita tidak melakukan antisipasi sejak dini hal seperti itu juga pasti akan kita alami dan rasakan. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah Revitalisasi Pertanian yang bagaimanakah yang akan kita lakukan di Tanah Simalungun Huta Hatubuhan kita ..?? Apakah kita masih akan terus terbuai dengan iming-iming dengan peningkatan penggunaan pupuk kimia akan meningkatkan produksi pertanian kita..?? Berbicara masalah infrastuktur, irigasi maupun pemasaran hasil pertanian memang merupakan faktor pendukung yang tidak bisa dipisahkan dalam memikirkan kemajuan sektor pertanian, akan tetapi jika lahan pertanian sudah tidak produktif lagi akibat kerusakan tekstur dan struktur tanah apakah faktor pendukung tersebut masih akan ada artinya.

PERTANIAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
“Alam ini bukan hanya milik kita tetapi juga merupakan miliki generasi yang akan datang sehingga mereka juga kelak pantas untuk menikmati indah dan suburnya alam ini”.
Kesadaran akan pentingnya alam bagi kelangsungan hidup umat manusia memunculkan berbagai gerakan dengan isu penyelamatan lingkungan hidup. Secanggih apa pun teknologi yang diciptakan, manusia tetap bergantung kepada alam. Pertanian organik bukan saja tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia, tetapi juga merupakan sistem pertanian selaras dengan alam, berguna bagi kesehatan manusia. Lebih jauh lagi, pertanian organik menjadikan petani sebagai manusia yang merdeka dan mandiri. Pertanian organik mengkombinasikan sistem pertanian dan keraifan tradisional (indigenous knowledge) dengan ilmu pengetahuan pertanian yang terus berkembang. Menjaga dan memelihara kesuburan tanah merupakan sikap petani organis yang terpenting. Bagi petani, tanah adalah kehidupan itu sendiri. Bagian tanah yang dilindungi adalah bagian top soil, tempat tanaman mengambil zat-zat yang diperlukan. Dengan melakukan pemulsaan menggunakan bahan-bahan setempat, seperti sisa-sisa panen, tebasan rumput,pangkasan tanaman pagar hidup dan sebagainya, tanah dilindungi, dipelihara, dan dihidupkan. Mulsa yang lapuk akan menjadi pupuk organik. Melindungi tanah berarti juga melindungi beragam organisme seperti cacing tanah dan mikroorganisme yang mempunyai peranan penting dalam proses penyuburan tanah. Filosofi yang melandasi pertanian organik adalah mengembangkan prinsip memberi makanan pada tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plants). Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos dan pupuk kandang menjadi biomassa tanah yang selanjutnya setelah melalui proses mineralisasi akan menjadi unsur yang larut dalam tanah.
Menerapkan Pertanian Organik bukanlah merupakan hal yang sangat mudah, hal ini bisa dimaklumi mengingat merobah pola pikir petani itu membutuhkan kesabaran dan perjuangan yang sangat berat, masih terfokus pada orientasi peningkatan produksi setinggi-tingginya, ketergantungan petani terhadap pupuk kimia yang masih sangat tinggi sekali, kurangnya pemahaman serta pengertian petani tentang Pengelolaan Nutrisi Terpadu (Kaitan kegiatan Budidaya dengan pengembalian kesuburan tanah).
"Paturei ma huta mu, ai in do huta hatubuhan mu." Slogan ini patut direnungkan dan dikaji maknanya. Pengertian “paturei” disini bukan berarti hanya untuk memperbaiki segala aspek kehidupan bagi generasi pada saat ini saja tanpa memperhatikan nasib anak cucu kita pada masa yang akan datang. Apalah jadinya nasib generasi kita dimasa yang akan datang apabila lahan pertanian yang kita pakai pada saat ini sudah hancur dan tidak potensial lagi akibat penggunaan pupuk kimia yang tidak bisa kita kendalikan, kekurang pedulian kita akan minimnya kandungan bahan organik tanah serta musnahnya mikroorganisme tanah dengan penggunaan pestisida yang over dosis. Revitalisasi Pertanian di Simalungun harus mengacu kepada prinsip pertanian berwawasan lingkungan (pertanian organik) sekalipun memang harus dilalui dengan perjuangan yang tidak mudah serta butuh waktu yang tidak singkat. Tetapi jika tidak dari saat ini kita mulai maka kehancuran areal-areal potensial pertanian kita akan semakin nyata dan semakin meluas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar anda

 
x -->